Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAMPUNG JUDONEGORO & KISAH PILU SEORANG PANGERAN

(Asta P. Judonegoro di desa Kebunagung).
Bagi warga desa Kebunagung Kecamatan Kota Sumenep, Kampung Judonegoro mungkin sudah familier. Lebih-lebih setelah baru- baru ini dibangun gapura ( labang saketeng ) yang bertuliskan Kampung Judonegoro. Tak jauh dari gapura itulah Kades yang baru terpilih akhir tahun 2019 kemarin Bustanul Affa bertempat tinggal. Disini pula Wisata Sungai Kebunagung mulai dirintis. Disebelah kirinya baru ada asta Pangeran Judonegoro yang sudah bersemayam kurang lebih 350 tahun yang silam. Maka jika anda berkunjung kesini maka keduanya bisa anda dapatkan yakni Wisata Religi dan Wisata Sungai.

Siapa P. Judonegoro ?

Bagi masyarakat awam mungkin tak banyak yang tahu siapa Judonegoro. Nama aslinya adalah R. Bugan. Dari garis bapak, dia adalah putra R. Abdullah bin R. Rajasa bin Pangeran Wetan bin R. Arya Kanduruan bin R. Patah(Raja Demak pertama). R. Abdullah adalah Adipati Sumenep yang ke 20 dari urutan pemetintahan sejak Arya Wiraraja dilantik tahun 1269 sebagai Adipati pertama oleh Prabu Kertanegara Raja Singosari terahir. Dari garis ibu, lewat neneknya R.Ayu Susila(istri R. Rajasa) dia adalah generasi kelima dari Pangeran Jokotole melalui putrinya yang menikah dengan Sunan Paddusan bin Syd. H. Usman bin Syd. Ali Murtadha.(Syd. Ali Murtadha Fadhal adalah penyebar Islam pertama menurut sejarah Walisongo. Astanya ada di Nyamplong Sepudi. Dia adalah saudara Sunan Ampel/R. Rahmad).

Kisah pilu seorang Pangeran.

Alkisah bermula saat R. Bugan kecil ( kurang lebih 3 tahun ) berangkat dengan bapak dan kakeknya dalam perjalanan menuju Demak. Ditengah perjalanan di daerah Sampang dicegat oleh pasukan Mataram yang sudah menguasai Madura bagian barat mulai dari Pamekasan, Sampang dan Bangkalan. Saat itu Kerajaan Mataram punya ambisi mepersatukan Jawa dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di Jawa dan Madura. Setelah melalui pertempuran yang tidak seimbang pasukan Sumenep mengalami kekalahan. R. Abdullah orang tua R. Bugan dan kakeknya R. Rajasa gugur dalam pertempuran itu dan dikebumikan di desa Plakaran Sampang. Sedangkan R. Bugan dapat diselamatkan kemudian dititip pada salah satu keluarga sultan di Kesultanan Cirebon. Sumenep kemudian dipimpin oleh Raden Mas Pangeran Anggadipa putra seorang Adipati Jepara yang direkomendasikan oleh keturunan R. Patah Demak untuk mengisi kekosongan pemerintahan dengan jabatan Tumenggung.

Kembalinya sang Pangeran.

R. Bugan sendiri memetintah Sumenep dari sekitar tahun 1672-1678 M, dengan gelar Pangeran Judonegoro. Kembalinya sang Pangeran melalui proses yang panjang dan berdarah-darah. Pangeran kecil yang terbuang di Cirebon digembleng dalam lingkungan kesultanan yang memiliki keislaman yang kuat dibawah pengaruh Sunan Gunung Jati salah seorang Walisongo. Cirebon merupakan kerajaan Islam di Jawa Barat yang mandiri. Saat Sultan Agung Raja Mataram menancapkan kekuasaannya ditanah Jawa, hanya Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten yang tidak dianeksasi. VOC yang kala itu menguasai daerah Batavia (Jakarta sekarang) tidak luput dari incaran Mataram. Beberapa kali upaya untuk menaklukkan VOC selalu gagal walaupun mereka telah bekerjasama. Sementara dibagian timur Jawa hanya Blambangan yang belum dikuasai.

R. Bugan tumbuh dan besar dalam situasi seperti itu sehingga dia matang sebelum waktunya. Dia belajar banyak urusan pemerintahan di Mataram. Kemudian memperdalam ilmu agama di Giri( Gersik Jawa Timur sekarang). Disinilah dia bertemu dan bersahabat dengan Pangeran Trunojoyo dari Sampang yang sama-sama menimba ilmu agama di pesantren.

Saat Blambangan memberontak R. Bugan dipercaya untuk memimpin pasukan menghalau pemberontak dan berhasil. Atas prestasinya dia diberi gelar Pangeran Macan Wulung oleh penguasa Mataram.

Di Sumenep sendiri saat itu sudah dipimpin oleh R. Jaingpati dari Sampang menggantikan R. Mas Anggadipa yang dipecat oleh Mataram karena fitnah. Padahal R. Mas Anggadipa termasuk sukses memimpin Sumenep. Jasa beliau salah satunya adalah memdirikan 'Masdjid Laju' pada tahun 1639 M, masdjid pertama di Kepanjin Sumenep.

Raden Jaingpati adalah sepupu Pangeran Cakraningrat I ( Raden Prasena ) penguasa Sampang. Dia kurang berhasil memimpin Sumenep. Keadaan sosial ekonomi masyarakat semakin memburuk. Dia menjadi tidak disukai oleh rakyat. R. Bugan yang sudah dewasa merasa terpanggil untuk kembali ke daerahnya. Dengan dibantu oleh Pangeran Trunojoyo dan dukungan masyarakat Sumenep akhirnya R. Bugan dapat kembali memimpin Sumenep menjadi Adipati yang ke 23 dengan gelar Kanjeng Tumenggung Ario Judonegoro.

Dibawah kepemimpinannya, dia segera dapat memulihkan keadaan di Sumenep. Keadaan sosial ekonomi masyarakat mulai bangkit. Situasi keamanan mulai terjamin walaupun secara hirarki kekuasaan masih dibawah Mataram. Dia dikenal sebagai sebagai sosok yang santun, arif dan bijaksana. Sehingga dijamannya jika ada orang yang tidak tahu sopan santun dan tatakrama dikatakan tidak tahu 'judonegoro'.

R. Bugan menikah dengan Nyai Kani, putri K. Jumantara di Sampang yang masih keponakan Pangeran Trunojoyo. Dari pernikahannya itu dikarunia 4 orang putri yaitu :
* Raden Ayu Batur
* Raden Ayu Artak
* Raden Ayu Otok
* Raden Ayu Kacang.
Dari keempat putrinya ini lahir generasi-generasi unggul dikemudian hari kecuali R. Ayu Batur yang tidak memiliki keturunan.

(Asta Pangeran Yudonegoro dan keluarga.)
Nur Hakim
Nur Hakim Fokus adalah salah satu kiat untuk sukses

10 comments for "KAMPUNG JUDONEGORO & KISAH PILU SEORANG PANGERAN"

  1. Sip..Sip..Sip berarti..hhh. Makasih kunjungannya.

    ReplyDelete
  2. Mantap, melestarikan peninggalan sejarah dan budaya Sumenep

    ReplyDelete
  3. Terimakasih atas dukungan dan kunjungannya smg kedepan lebih baik

    ReplyDelete
  4. Kalo boleh tau sumber referensi.nya darimana ya pak???

    ReplyDelete
  5. Terimakasih bu Fifin dan pak Afiil support dan kunjungannya.
    Refrensi dari berbagai sumber pak Afiil. Jika ada ketidak sesuaian dengan referensi bapak monggo koreksinya sangat sy hargai.

    ReplyDelete