Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Buku Harian dan Kemampuan Literasi ( 6 )

ZAITUN

Trulli

Buku Harian ini isinya adalah sebuah catatan perjalanan, puisi, surat untuk seorang sahabat dan lainnya. Didalamnya terangkum perasaan dan opini seorang remaja dalam menyikapi peristiwa-peristiwa tertentu dalam hubungannya dengan love affair, kenyataan, nilai dan norma serta harapan-harapannya di masa depan.

Agar tidak boring, sambil lalu membaca bisa anda nikmati "Lagu Untuk Sebuah Nama" dari album Ebit G. Ade.



Mengapa jiwaku mesti bergetar

Sedang musikpun manis kudengar

Mungkin karena kulihat lagi

Lentik bulu matamu, bibirmu


Dan rambutmu yang kau biarkan

Jatuh bergerai di keningmu

Makin mengajakku terpana

Kau goreskan gita cinta


Mengapa aku mesti duduk di sini

Sedang kau tepat di depanku

Mestinya aku berdiri berjalan ke depanmu


Kusapa, dan kunikmati wajahmu

Atau kuisyaratkan cinta

Tapi semua tak kulakukan

Kata orang cinta mesti berkorban


Mengapa dadaku mesti berguncang

Bila kusebutkan namamu

Sedang kau diciptakan bukanlah untukku itu pasti


Tapi aku tak mau peduli

Sebab cinta bukan mesti bersatu

Biar kucumbui bayangmu

Dan kusandarkan harapanku


Rabu, 25 Juni 1980
Pukul 10.00 WIB.

Dengan sebuah sampan keteran kami beranjak meninggalkan pantai Patapan menuju perahu mesin yang berlabuh agak di tengah laut. Tak lama kemudian sampan yang kami tumpangi mulai mendekat. Orang-orang yang ada dalam perahu sudah jelas nampak wajahnya. Diantara sekian banyak orang disitu ada seraut wajah manis yang menarik perhatianku.

Perahu mendekat kemudian merapat. Sekali lagi kucoba memperhatikan dan secara kebetulan kami saling pandang selintas. Waktu itu aku telah sibuk menaikkan barang-barang ke atas perahu. Setelah semua rombongan pada naik, aku terahir yang naik.

Perahu mesinnya cukup besar. Model atapnya datar, tidak sebagaimana perahu tradisional yang atapnya seperti model atap rumah. Diatas dek kapal itulah tempat semua penumpang beristirahat. Kulihat dia berkenalan dengan bu Ummi. Mereka menempati tempat paling belakang di buritan. Disitu juga terdapat dua wanita lagi yang sama-sama terlibat dalam percakapan.

Kelihatannya penumpang perahu sudah cukup penuh. Aku terus melangkah disamping mereka menuju ke arah depan untuk mencari tempat duduk yang kosong. Maunya aku ingin langsung berkenalan dengan mereka. Tetapi sepertinya langkahku tak mau diajak kompromi.

Tak lama kemudian perahu langsung berangkat. Lambat laun perahu beranjak meninggalkan laut Patapan menuju ke arah timur. Aku duduk di dek depan disamping kanan menghadap ke arah selatan, sambil menikmati pemandangan indah pulau Paleat yang nampak menghijau.

Disitu juga terdapat beberapa pemuda yang duduk disamping kanan dan kiriku. Aku mencoba membuka percakapan dengan pemuda yang ada disamping kiriku. Setelah berbincang-bincang tentang banyak hal, baru aku mengetahui bahwa pemuda ini masih ada hubungan keluarga dekat dengan calon kemanten tunangan om Rasid. Dia mengaku sebagai paman dari calon kemanten.

Perkiraaan kurang lebih satu jam perjalanan telah kami tempuh, terasa angin laut semakin kencang berhembus. Dingin mulai terasa. Aku menggeser agak ke tengah, mengambil jaket dalam tas. Tak ada suara orang berbicara, cuma deburan ombak dan angin menderu yang terdengar. Sebagian orang sudah tertidur. Sebagian masih duduk ditempat dengan alam pikiran masing-masing. Sementara perahu tetap melaju mengikuti irama gelombang laut yang cukup besar.

Kembali perhatianku tertuju pada gadis yang tadi. Dia adalah salah satu dari sekian banyak penumpang yang datang dari Banyuangi. Cukup manis, polos dan sederhana begitu pikirku. Nampak rasa lelah yang terpancar dari wajahnya. Memang perjalanan dari Banyuangi ke Patapan dengan perahu motor butuh waktu 10 sampai 12 jam.

Dari raut wajahnya, kelihatan dia sebaya dengan mereka-mereka itu. Dalam hati aku malah sempat terlintas, jangan-jangan dia sudah berkeluarga. Perasaan inilah yang menyebabkan niatku untuk berkenalan tadi kuurungkan. Apalagi ditambah rasa sungkan kepada para anggota rombongan yang hampir semuanya adalah mbah-mbahku.

Setelah perjalanan kurang lebih 2 jam, sampailah kami ke pulau Sapeken. Jam telah menunjukkan angka 12 ketika perahu menurunkan jangkar. Sebuah sampan diturunkan dari perahu. Aku dengan Om Rasid yang turun. Sedangkan yang lain takut, karena yang akan ditumpangi adalah sampan kecil ( Orang Kangean menyebut dengan sampan polokan). Apalagi sampan itu memang sedikit bocor.

Sesampainya di daratan Sapeken kami terus berjalan melewati lorong-lorong kecil yang ada diantara rumah-rumah penduduk. Umumnya rumah-rumah disini adalah rumah panggung. Karena pertama kali ini aku menginjakkan kaki di pulau Sapeken, aku tak tahu harus kemana aku pergi. Aku makmum saja sama om Rasid.

Agak lama kami berjalan, akhirnya sampai di rumah om Jakfar. Om Rasid memberitahu bahwa anggota rombongan yang lain masih ada di perahu. " Tolong carikan sampan, mereka mau naik ke darat" kata Om Rasid. 

Setelah itu kami berdua pergi lagi entah kemana, melewati jalan-jalan kampung. Yang kutahu kemudian hanya mampir dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu rumah yang lain, sambil memberi tahu dan mengundang mereka untuk hadir ke pesta pernikahannya nanti pada tanggal 28 Juni 1980 di Pagerungan Kecil.

Sesudah itu kami kembali lagi ke rumah om Jakfar. Orang-orang (rombongan) sudah ada disitu semua. Perutku terasa lapar sekali. Kami makan bersama. Sesudah itu aku shalat, dijamak dhuhur dan ashar. Menurut informasi, kami hanya diberi waktu satu jam untuk naik ke darat. Setelah sampai waktunya kami disusul dan semua orang kembali ke perahu.

Perjalanan kemudian dilanjutkan. Perahu berlayar lagi meninggalkan pelabuhan Sapeken kearah timur menuju pulau Pagerungan Kecil. Aku kembali duduk di tempat semula. 

Kurang lebih satu jam perjalanan berlalu, rasa lelah dan ngantuk mulai terasa. Kepalaku mulai terasa sedikit pening dan badan terasa mulai dingin. Angin bertiup sangat kencang. Gelombang laut cukup besar. Sekali-sekali membuat percikan air laut mengenai badan kami. Aku menggeser agak ketengah, mengambil posisi untuk tiduran.

Kulihat anak gadis itu bersandar pada kayu di belakangnya dengan mata merem, entah tidur atau tidak aku tak tahu. Sebagian penumpang sudah banyak yang tidur. Aku mencoba untuk tidur dengan jalan kupejamkan mataku. Entah tidur atau tidak aku sendiri kurang tahu. 

Sayup-sayup terdengar mulai ada suara orang bercakap-cakap. Ketika aku membuka mata, orang-orang sudah pada bangun. Pulau yang kami tuju sudah dekat. Perahu-perahu yang ada di bibir pantai mulai nampak. 

Pukul 03.30 sore hari perahu menurunkan jangkar dekat pantai. Kurang lebih 2 jam perjalanan telah kami tempuh dari Sapeken-Pagerungan Kecil. Perahu tidak dapat langsung merapat ke pinngir pantai karena sore hari air laut sedang surut. Kami memerlukan sampan kecil lagi untuk bisa mencapai daratan. 

Sampan polokan yang ada di perahu itu kembali diturunkan. Kulihat anak gadis yang tadi itulah yang pertama turun dan pertama juga menginjak daratan. Kemudian aku dengan Om Rasid serta adikku menyusul, setelah ada sampan keteran yang datang ke perahu. Kulihat anak gadis itu dijemput seseorang menggunakan sepeda motor, mereka langsung pulang.

Kedatangan kami cukup menarik perhatian warga setempat. Di pinggir pantai banyak orang yang datang, ada yang menjemput seseorang, ada yang cuma sekedar ingin tahu barangkali. Mereka berbaur disekitar kami, berbicara dengan orang-orang yang mereka jumpai. 

Dari sekian banyak warga setempat yang berbicara dengan om Rasid, hanya ada seorang wanita paro baya yang menarik perhatianku. Orangnya putih, kuning,  bersih. Bentuk mukanya seperti bintang film Christin Hakim kupikir. Wajahnya manis dan cantik. Dari percakapan kuketahui namanya adalah Neon. Inilah satu-satunya nama yang kukenal pertama kali di pulau ini. "Antik" begitu pikirku. Hasniah nama aslinya. Ini kuketahui dari om Rasid setelah kami berlalu meninggalkan mereka di pantai. 

Kami berjalan menuju arah selatan, lewat jalan setapak di tengah perkebunan kelapa. Setelah kurang lebih 100 m kami berjalan sampailah pada sebuah rumah panggung. Disitulah kami dipersilahkan masuk. Sepi. Tak ada orangnya. Kata tetangga sebelah  mak Dian (pemilik rumah panggung) pergi ke laut mencari ikan.

Kuletakkan tas di atas meja, kemudian duduk di beranda rumahnya. Kulihat di kanan kiri, semua rumah penduduk adalah rumah panggung. Tak lama kemudian semua anggota rombongan tiba. Mereka semua akan numpang di rumah ini selama beberapa hari sampai selesai acara pernikahan.

Mentari mulai semakin rebah. Sinarnya yang merah ke kuning-kuningan menyentuh pucuk-pucuk pohon kelapa. Sementara mega-mega merah kembali memburat dalam senja, membayangi matahari yang semakin redup. Angin semilir mendesir menerpa daun-daun kelapa yang banyak tumbuh di sela-sela rumah penduduk. 

Untuk mengisi waktu, dalam kesendirian aku berjalan melewati jalanan berdebu. Tak ada tujuan yang pasti, karena akupun tak tahu harus kemana, sebab baru pertama kuinjakkan kaki di pulau ini. Aku berjalan kearah pantai, karena memang jaraknya dekat dan terlihat dari rumah. 

Jalanan sepi. Tak ada kendaraan yang lewat. Hanya saja kadang lewat wanita pribumi berkerudung sampir dengan sepeda laki-laki. Nampak janggal padaku, karena di daerahku tidak pernah terlihat ada perempuan yang naik sepeda jenis ini. Tetapi bagi warga disini sudah biasa dan lumrah katanya.

Suasana sunyi, sepi di pesisir pantai. Hembusan angin yang menerpa nyiur melambai, lebih kusuka dari pada keramaian dan kebisingan kota.  Samar-samar bulan sebesar bola mulai nampak di langit disela-sela pohon kelapa di arah timur. Perahu-perahu nelayan banyak yang parkir di tepi pantai. Para nelayan sedang beristirahat. Mereka tidak melaut, menunggu musim ikan diawal bulan yang akan datang.

Sambil menikmati hasil tangkapan ikan yang mereka bisa simpan, mereka dagang kecil-kecilan untuk menyambung hidupnya sampai musim ikan yang akan datang. Demikianlah hidupnya sepanjang musim, hidup dalam kesederhanaan. 

Malam menjelang aku pulang ke pondokan berbaur dengan anggota rombongan yang lain. Malam ini baru aku tahu dan mengenal gadis yang tadi bersama dalam satu perahu. Ternyata masih saudara sepupu dengan dengan calon kemanten. 

Namanya Zaitun. Sebuah nama yang indah dan unik. Mengingatkan aku pada buah Zaitun dari negeri padang pasir. Zaitun, nama yang pantas disematkan karena orang tuanya masih berdarah keturunan Arab. Orang tuanya masih kakak beradik dengan calon mertua om Rasid. 

Dia sendiri masih sekolah SMEA ( Sekolah Menengah Ekonomi Atas ) di Banyuangi, baru naik ke kelas III pada tahun pelajaran mendatang. Orangnya cukup cantik, manis dan supel dalam bergaul. Kami cepat akrab seakan sudah lama saling mengenal. Aku bermain ke rumahnya malam itu dan berkenalan dengan orang tua dan keluarganya yang lain. Bahkan sempat jalan-jalan sebelum main ke rumahnya dengan kendaraan bebeknya, sekedar ingin tahu keadaan pulau Pagerungan Kecil malam itu.
Nur Hakim
Nur Hakim Fokus adalah salah satu kiat untuk sukses

Post a Comment for "Buku Harian dan Kemampuan Literasi ( 6 )"