Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Buku Harian dan Kemampuan Literasi ( 3 )

Dunia Panggung Sandiwara

Trulli

Buku Harian ini isinya adalah sebuah catatan perjalanan, puisi, surat untuk seorang sahabat dan lainnya. Didalamnya terangkum perasaan dan opini seorang remaja dalam menyikapi peristiwa-peristiwa tertentu dalam hubungannya dengan love affair, kenyataan, nilai dan norma serta harapan-harapannya di masa depan.

Selasa 24 Juni 1980


Tak seperti biasanya, sehabis shalat subuh aku kadang tidur lagi. Tapi pagi ini tidak. Karena pagi ini ada rencana akan pergi ke Patapan ( Ujung Timur Pulau Kangean) lalu terus Pagerungan Kecil. Aku belum tahu pasti kapan berangkat. Yang kutahu kemudian karena kurangnya kendaraan menyebabkan keberangkatan agak siang.(tertunda)

Mbah Abd. Samad dan mak Sia (sebutan untuk mbah perempuan) berhajat menikahkan Om Rasyid dengan tunangannya di Pagerungan Kecil.( sebuah pulau kecil termasuk wilayah Kecamatan Sapeken)
Sebagian keluarganya ikut serta. Diantaranya mbah Abd. Samad sekeluarga, mak Sia, Bu Ummi dan Om Rasyid

Aku dengan ibu dan adikku perempuan yang masih kecil, mak Rauda (ibu dari bapakku), keluarga kae Adam, nyai Muk dan lain-lain semua diantar dengan sepeda motor. Aku dengan kae Ilyas, sedang Ibu dengan Om Samrawi .

Kurang lebih pukul 10.00 WIB pagi berangkat. Semua peserta mampir di rumah Om Samawi di Desa Torjek. Disana disuguhi makanan alakadarnya. Perjalanan dilanjutkan, akhirnya sampai di Patapan kurang lebih pukul 12 siang. ( Jarak tempuh Arjasa - Patapan 45 km )

Sesudah istirahat sebentar, menyimpan barang-barang bawaan di kamar, aku terus ke Sumber air. ( sebuah bangunan, bak penampungan sumber air untuk mandi dan lainnya). Lokasinya dekat pantai, tak jauh dari pesanggerahan.. Kembali dari Sumber air, terus shalat dhuhur.

Siang itu aku tak tidur. Aku habiskan waktuku hingga sore untuk menikmati udara dan pemandangan Patapan. Laut yang indah berombak kebiru-biruan, dihiasi dengan tebaran pulau-pulau kecil menambah manisnya suasana.

Aku mengabadikan beberapa objek foto di sana, di sebelah timur Pesanggerahan dengan panorama pantai dan pulau Paleat ( sebuah pulau terdekat di sebelah timur ujung pulau Kangean). Yang memotret Om Rasid. Kemudian aku kembali pulang untuk shalat ashar.

Setelah itu aku kembali ke pantai lagi. Dibatas cakrawala mega merah kekuningan memburat dalam senja. Mentari mulai menampakkan sinar merah, kuning keemasan, pertanda waktu senja telah tiba.

Di bibir pantai ada perahu nelayan berlabuh tak bertuan. Di atas perahu aku duduk sendiri memandang ke segala arah. Kaki langit disana merupakan batas pandangku.

Disana ruang sadarku melantun. Memori kehidupan masa lalu merajut ruang lamunan. Kertas dikiri, fulpen dikanan, merupakan temanku bercanda. Mengajak aku bergumul dengan masa lalu. Ujung penaku menggores, sementara otakku bekerja, menorehkan isi pikiranku. Kurangkai sebuah puisi. Puisi kenangan yang pernah hadir dalam hatiku semusim yang lalu.

Petang membayang. Mentari akan kembali ke peraduannya. Aku berdiri, lalu melompat turun ke tanah berpasir. Kulangkahkan kaki kembali pulang ke Pesanggrahan.

Disitu berdiri 5 buah rumah. Rumah yang semua bahannya dari kayu kecuali gentingnya, berjajar di sebelah utara jalan. Rumah paling kanan dan paling kiri adalah rumah yang mempunyai lantai tanah. Sedangkan 3 rumah yang diapit di tengah adalah rumah panggung, seperti rumah orang-orang Bugis.
Menurut perkiraan rumah-rumah itu didirikan di waktu masih zaman pemerintahan kolonial Belanda.

Kelihatannya seperti tak pernah dirawat. Di cat pun tidak. Kecuali pulasan kapur putih yang menempel di dinding. Itupun sudah kumal, menyebabkan banyak bagian kayu yang sudah tak berlapis lagi. Sehingga kayu-kayu itu kelihatan warna aslinya, abu-abu dan kehitam-hitaman. Seingatku dulu ketika aku masih kecil rumah-rumah ini elok dan indah.

Kalau mau masuk rumah, masih harus naik tangga dulu. Lantainya terbuat dari papan kayu . Di rumah panggung itulah Mbah Abdus Shamad tinggal. Semua rumah itu adalah milik Perusahaan Umum Perhutani Kangean Timur. Dirumah ini kami semua rombongan rencana bermalam, untuk melanjutkan perjalanan besok ke Pagerungan Kecil.

Kembalinya dari pantai, aku masih belum masuk rumah. Diambang pintu, tepatnya di tangga naik, aku duduk membaca majalah. Pada halaman muka tertera angka 1977, berarti majalah itu telah terbit tiga tahun yang lalu.

Namun karena tidak adanya bahan bacaan, kubuka juga walau isi tulisannya sudah basi dan kertasnya pun sudah rengsek. Membosankan pikirku… Lembar demi lembar kubuka, tetapi tak ada tulisan yang menarik.

Tiba-tiba perhatianku terhenti, ketika kulihat dua dara manis melenggang melintas di depanku. Kuperhatikan kedua anak itu. Timbul kesan dalam benakku, sungguh sangat berbeda keadaan keduanya.

Yang satu, yang pakai baju merah atas dan bawahan, sikap, gaya dan penampilannya ala kota. Sedangkan yang satunya, dari penampilannya memancarkan gadis dusun yang masih suci, yang sama sekali mungkin belum pernah terjamah oleh tangan-tangan lelaki jahil yang iseng. Tak seperti halnya gadis-gadis kota pada umumnya yang sudah biasa bergaul dengan laki-laki.

Dengan sampir melilit antara kaki dan pinggang, serta rambut yang diikat dengan karet, tersisir rapi ke belakang, nampak dari wajahnya sikap keibuan. Aku terpesona memandangnya. Kulitnya yang kuning langsat, mulus, ramping, berisi, mengingatkan aku pada bintang film dari Padang, Nur Afni Octavia.

Pokoknya selangit deh…. Seandainya dia anak kota, lalu mempunyai pendidikan yang lumayan, bisa berakting, mungkin saja akan menyamai artis-artis ibukota yang tak kalah tenarnya. Ah itu hanya fantasi...

Tetapi entah mengapa aku lebih senang melihat seseorang yang masih polos, yang belum terpengaruh peradaban kota. Itu mungkin karena aku pun juga dari desa . Hanya sejak aku menginjak usia remaja, aku merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikan di SLA (SPG), sebab di daerahku cuma ada SMP.

Itu bukan berarti aku tak senang pada hal-hal yang berbau modern. Hanya saja dalam hal yang satu ini, aku lebih tertarik pada keadaan yang alami.

Dalam hal ini, bukan berarti aku harus mencari anak desa sebagai pendamping hidupku kelak. Aku lebih suka pada anak yang pinter, luwes, supel dalam bergaul. Seringkali malah aku kadang risih melihat wanita, dara kota yang banyak tingkah, sok aksi, nyentrik mengikuti mode, padahal tidak sesuai dengan keadaan pribadinya. Hanya karena takut dikatakan ketinggalan jaman, segalanya ditiru dan diikuti.

Sebagai seorang lelaki, aku senang melihat keindahan, kecantikan, keluwesan seorang wanita, baik yang tua lebih-lebih yang muda. Tetapi kita sebagai manusia seharusnya bisa menempatkan diri pada keadaan yang semestinya.

Sebagaimana halnya salah seorang diantara dua gadis tadi, yang pakai blus merah, baik model, pakaian, rambut yang tergerai dan sikapnya, menunjukkan bahwa ia anak kota. Meskipun ia asalnya dari desa juga.

Ini kuketahui karena orang tuanya aku kenal.dan pernah bertetangga ketika aku masih kecil. Tetapi tidak lama, mereka pindah entah kemana. Belakangan aku tahu bahwa dia pernah sekolah di Kota Bangkalan. Karena dulu ketika aku masih sekolah di kota Pamekasan, aku pernah menjumpainya di rumah kosku.

Aku pernah tinggal dan kos dirumah mbahku sendiri ( adik dari nenekku ) yang saat ini punya hajat. Sedang orang tua dia, entah masih punya hubungan famili atau tidak, aku sendiri tak tahu. Aku sebenarnya sudah tahu dia dari waktu kecil dulu, hanya karena belum pernah saling bercakap, maka seolah-olah sama-sama tak mengenal.

Baru saja setelah tadi siang aku sampai di Patapan, dia datang ke rumah peristiratanku dan rombongan. Kami pun saling berbincang sekedarnya. Dalam hati aku heran mengapa ia bisa berada disini. Maka ketika untuk kedua kalinya aku berjumpa, ia berjalan di depan rumah (bersama sahara gadis desa itu), kami hanya bisa saling pandang dan tersenyum.

Aku masih sempat menatap sahara itu. Ah…betapa manis dan anggunnya gadis itu. Sesudah itu kubiarkan saja mereka melangkah di depanku sembari kubuka buka kembali majalah yang tadi sejenak tertutup.

Namun setelah mereka lewat beberapa langkah di depanku aku memanggilnya. Langkahnya pun terhenti sembari berbalik memandang ke arahku.

“ Kamu punya majalah” kata aku.
“ Itu yang kamu pegang kan majalah” Ia balik bertanya.
“ Iya. Tapi gak ada yang menarik”. Jawabku.
“ Kamu sudah membacanya?
“ Iya. Walaupun hanya judulnya saja”
“Ada di rumahku.” katanya sambil mendekat ke tempat aku duduk.
“ Kalau boleh kita tukaran membacanya” usulnya.
“ Ok..kau ambil sana majalahmu” kataku menyetujui secara spontan.

Iapun pulang untuk mengambilnya karena rumahnya memang dekat. Sementara gadis yang bersamanya tadi pamit pulang kerumahnya sendiri, di selatan jalan yang menghadap ke lautan.

Sebentar kemudian ia datang membawa majalah. Lalu duduk di bangku didepanku, seraya mengambil majalah dari tanganku dan memberikan majalah yang tadi dibawanya.

Sembari membuka lembar demi lembar majalah, kami mengobrol tentang banyak hal. Masalahnya berkisar pada masalah hobi dan keadaan di Patapan serta yang lain-lain. Sampai akhirnya waktu maghrib tiba, kami masih asik membaca sambil ngobrol. Akhirnya kami pisah juga untuk melaksanakan kewajiban selaku ummat Islam.

Antara pukul 07.00 sampai pukul 09.00 malam, kupergunakan waktuku untuk menikmati terangnya rembulan. Sambil berdiri di bibir pantai, aku memandang jauh kedepan sejauh mata memandang, sejauh mata hati menjangkau.

Gelombang laut berpacu mencapai pantai. Sementara sinar rembulan dengan setia menemaninya. Semilir angin berhembus sepoi-sepoi basah menerpa tubuhku dan pepohonan. Dingin terasa merasuk sampai ke tulang. 

Di pantai aku tidak sendiri, banyak anak-anak bermain. Anak-anak kecil dengan gembira bermain berkejar-kejaran diatas pasir. Salah satu diantaranya terjatuh, yang lain mengejar dan menungganginya. Oh….bertapa gembiranya mereka. Ingin rasanya aku bermain bersamanya. Rasanya aku telah kembali ke masa kecilku. 

Tanpa terasa malam semakin larut dan dingin. Anak-anak yang bermain sudah banyak yang kembali kerumahnya masing-masing. Kulangkahkan kakiku kembali meninggalkan pantai, meningggalkan kenangan masa kecil yang sering kali lucu jika dikenang.

Suasana malam itu sudah sepi ketika sampai di Pesanggrahan. Didalam rumah terdengar beberapa orang masih bercakap-cakap. Kuurungkan niatku untuk masuk, karena rombongan yang tadi siang semuanya bermalam disitu. 

Di rumah sebelah, rumah Pak Haris ( pegawai Perhutani ) kelihatan masih kosong. Pak Haris sendiri dengan keluarganya berada di Arjasa. Hanya saja rumah itu masih terbuka, karena dititip pada saudara iparnya, Musyaffak. Musyaffak sendiri tadi siang pulang ke Arjasa.  Yang ada hanya Om Rasid yang kelihatannya sudah pulas tertidur.

Di ruang tamu terdapat sebuah Televisi yang sedang nongkrong. Setelah kuhidupkan, acaranya masih Dunia Dalam Berita dari Stasiun TV RI. Aku langsung nongkrong disitu menghadap mengikuti siaran tersebut.

Tak lama kemudian beberapa orang datang bergabung untuk nonton. Dua diantaranya adalah gadis desa dan wanita yang kuajak ngobrol sore tadi. Disitulah kami nonton bareng. Acara Televisi sesudah Dunia Dalam Berita memang cukup menarik. Sebuah sandiwara Televisi yang cukup mengesankan. 

Ringkasan Cerita:

Sebuah drama percintaan yang mengisahkan tentang dua wanita yang bersahabat sedari kecil, dari kampung yang sama. Wanita yang satu masih gadis, sedangkan yang satunya sudah pernah bersuami dan memiliki satu anak. 

Mereka pergi bersama untuk mencari pekerjaan ke kota. Keduanya sama-sama beruntung, memperoleh pekerjaan di tempat yang berbeda, tetapi tetap satu tempat tinggal dengan menyewa sebuah rumah di perantauan. 

Dalam perjalanannya setelah cukup lama bekerja di kota, mereka berdua mencintai seorang pemuda yang sama tanpa mereka ketahui sebelumnya. 

Awalnya pemuda itu mencintai si gadis desa. Tetapi karena sering terjadi perselisihan paham, pemuda itu kemudian pindah kelain hati. Sementara si gadis masih tetap mencintainya. 

Dilain pihak, pemuda itu mulai dekat dengan sahabatnya dan saling mencintai. Tetapi dia tahu diri, karena dia sudah memiliki satu anak di kampung. Hanya saja dia tetap merahasiakan status yang sebenarnya. 

Hingga suatu ketika dia pulang, tanpa sepengetahuan sahabatnya dan pemuda yang mencintainya. Satu alasan yang pasti, dia tak ingin mengecewakan pemuda yang sangat dicintainya.

Dunia seperti panggung sandiwara kata Akhmad Albar dalam lagunya. Bagaimana akhir sandiwara, silahkan anda berimajinasi sendiri...yang jelas berahir dengan happy ending๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜Š( Bersambung )
Nur Hakim
Nur Hakim Fokus adalah salah satu kiat untuk sukses

Post a Comment for "Buku Harian dan Kemampuan Literasi ( 3 )"